POTENSI DAN PROSPEK PENGEMBANGAN AKUAKULTUR DI KALIMANTAN BARAT
Dalam Berita
16 November 2018
 
  20359 Kali
POTENSI DAN PROSPEK PENGEMBANGAN AKUAKULTUR DI KALIMANTAN BARAT
Oleh
Eko Dewantoro
(Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UM Pontianak)
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki luas laut 6,32 juta km2 dan daratan 1,91 juta km2. Wilayah daratan mencakup 17.504 pulau dengan panjang garis pantai 99.093 km atau nomor tiga terpanjang di dunia, dan memiliki perairan umum berupa sungai, danau dan rawa yang luasnya tidak kurang dari 158 ribu hektar. Di dalam laut yang begitu luas tersebut tersimpan potensi sumberdaya perikanan yang tidak sedikit. Berdasarkan hasil estimasi Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011, potensi produksi perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia adalah 6,520 juta ton/tahun.
Pada tahun 2014 pemanfaatan potensi perikanan tersebut telah mencapai 6,038 juta ton (Kelautan dan Perikanan dalam Angka, 2015). Hal ini berarti eksploitasi sumberdaya perikanan laut sudah mendekati titik jenuh (over exploitation). Bahkan di beberapa WPP, seperti di Selat Malaka (WPP 571), Laut Jawa (WPP 712), Selat Bali, Selat Makasar (WPP 713) dan beberapa perairan pantai lainnya telah terjadi gejala tangkap lebih (over fishing) yang mengarah pada degradasi sumberdaya hayati perairan.
Saat ini produksi perikanan telah mengalami zero growth. Untuk meningkatkan produksi perikanan nasional dari penangkapan, peluangnya semakin sempit. Hal ini cukup beralasan, mengingat produksi yang diperoleh saat ini di beberapa daerah penangkapan (fishing ground) sudah mendekati bahkan melebihi potensi penangkapan lestari (maximum suistanable yield atau MSY). Disisi lain, permintaan ikan semakin meningkat baik untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat maupun untuk tujuan ekspor guna meningkatkan devisa negara. Untuk merespon tantangan ini, akuakultur adalah jawabannya.
GAMBARAN UMUM AKUAKULTUR DI INDONEISA
Akuakultur atau budidaya peraian merupakan aktivitas memproduksi ikan atau organisme perairan lainnya pada kondisi terkontrol dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Akuakultur dapat dikelompokkan menjadi tiga kegiatan, yaitu pembenihan, pendederan dan pembesaran, baik yang dilakukan di perairan tawar, payau maupun laut. Pada akuakultur diperlukan campur tangan manusia, dan campur tangan manusia tersebut merupakan pembeda antara akuakultur dengan kehidupan ikan secara alami. Semakin besar campur tangan manusia berarti intensitas akuakultur semakin tinggi.
Berbeda dengan perikanan tangkap, potensi akuakultur Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal. Tingkat pemanfaatan lahan akuakultur tertinggi yaitu untuk pemeliharaan ikan di kolam baru sekitar 30%, dan sistem akuakultur lainnya di bawah 23%. Bahkan pemanfaatan perairan umum untuk akuakultur masih sangat sedikit (kurang dari 2%) (Tabel 1). Hal ini berarti masih terbuka luas peluang pengembangan akuakultur di Indonesia terutama untuk budidaya laut (mariculture), tambak (brackishwaterculture) dan mina padi (rice-fishculture).
Tabel 1. Potensi Lahan Akuakultur dan Tingkat Pemanfaatannya di Indonesia
No | Sistem Akuakultur | Potensi Lahan (ha) | Dimanfaatkan (ha) | Peluang Pengembangan |
hektar | (%) |
1. 2. 3. 4. 5. | Mina Padi Kolam Perairan Umum Tambak Laut | 1.536.289 541.100 158.125 2.964.331 12.123.383 | 142.387 161.387 1.707 667.083 281.474 | 1.394.167 379.713 156.418 2.297.248 11.841.909 | 90,75 70,17 98,92 77,50 97,68 |
Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan (2015)
Dari potensi akuakultur yang sudah dimanfaatkan, produksi tertinggi pada Tahun 2014 berasal dari budidaya laut yang mencapai 9,035 juta ton, kemudian diikuti oleh produksi tambak dan kolam (Tabel 2). Meskipun luas kawasan budidaya laut hanya 22% dari luas lahan akuakultur yang dimanfaatkan, namun produksinya lebih dari 62% dari total produksi akuakultur nasional. Tingginya produktivitas pada budidaya laut tersebut berkaitan dengan komoditas yang dibudidayakan yang didominasi oleh rumput laut. Sehingga dengan luas lahan yang sama, produksi yang dihasilkan dari rumput laut jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan komoditas lain.
Nilai total produksi akuakultur Indonesia sekitar Rp. 127,7 triliun (Tabel 2). Nilai tertinggi merupakan kontribusi dari usaha tambak yang mencapai Rp. 48,5 triliun. Kontribusi usaha tambak yang cukup besar tersebut erat kaitannya dengan volume produksi tambak, dan berbanding lurus dengan luasnya lahan yang dimanfaatkan. Sistem akuakultur lain yang juga memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap nilai produksi akuakultur nasional adalah pemeliharaan ikan di kolam dan budidaya laut.
Tabel 2. Produksi dan Nilai Produksi Akuakultur Indonesia Tahun 2014
No | Sistem Akuakultur | Produksi (ton) | Nilai (Triliun Rupiah) |
1. 2. 3. 4. 5. | Mina Padi Kolam Perairan Umum Tambak Laut | 144.263 1.963.589 788.132 2.428.389 9.034.756 | 2,8 36,0 15,6 48,5 24,8 |
Total | 14.359.129 | 127,7 |
Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan (2015)
Komoditas yang memberikan kontribusi terbesar terhadap produksi akuakultur Indonesia adalah rumput laut. Rumput laut bersama ikan kerapu dan ikan kakap merupakan komoditas utama pada budidaya laut. Dominasi rumput laut sebagai komoditas akuakultur di laut, telah menjadi titik ungkit peningkatan produksi pada periode 2010–2014, dengan pertumbuhan 26,66%/tahun. Sedangkan untuk perairan tawar (freshwaterculture), ikan nila menempati urutan pertama sebagai komoditas akuakultur. Namun demikian, ikan patin dan lele cukup prosfektif untuk dikembangkan karena pertumbuhan produksi kedua komoditas ini lebih tinggi dari komoditas akuakultur lainnya (Tabel 3).
Tabel 3. Produksi Akuakultur Indonesia Berdasarkan Komoditas yang Diusahakan Tahun 2010 dan 2014
No | Komoditas | Produksi (ton) | Pertumbuhan (%/tahun) |
2010 | 2014 |
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9 10. | Rumput Laut Udang Kerapu Kakap Bandeng Ikan Mas Nila Lele Patin Lainnya | 3.915.017 380.972 10.398 5.738 421.757 282.695 464.191 242.811 147.888 406.457 | 10.076.992 639.369 13.346 5.447 631.125 434.653 999.695 679.379 418.002 461.123 | 26,66 13,82 6,44 -1,29 10,60 11,35 21,14 29,33 29,66 3,20 |
Total | 6.277.923 | 14.359.129 | 22,98 |
Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan (2015)
PROSFEK AKUAKULTUR DI KALIMANTAN BARAT
Kalimantan Barat termasuk salah satu provinsi yang memiliki potensi sumberdaya perikanan yang terbesar di Indonesia. Provinsi ini memiliki luas daratan 147.307 km2, dengan panjang garis pantai 1.398 km (Badan Pusat Statistik, 2016) dan kewenangan mengelola wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai. Di wilayah teresterial, Kalimantan Barat memiliki hutan mangrov 149.344 hektar, perairan umum berupa sungai, danau dan rawa dengan luas 2.004.764 hektar, serta lahan yang dapat dimanfaatkan untuk kolam dan minapadi (Dinas Kelautan dan Perikanan Kalimantan Barat, 2015; Badan Pusat Statistik, 2016).
Akuakultur di Laut
Potensi pengembangan akuakultur Kalbar cukup besar terutama untuk budidaya laut, tambak dan perairan umum (Tabel 4). Pada budidaya laut, komoditas yang dapat dikembangkan adalah rumput laut dan ikan. Teknologi akuakultur yang dapat diterapkan pada budidaya rumput laut metode dasar, lepas dasar dan metode apung (rakit). Jenis rumput laut yang dapat dikembangkan adalah dari famili alge merah (Rhodophyceae) terutama kelompok penghasil carragenan (carragenophyt) yaitu dari genus Eucheuma, seperti Eucheuma cottoni, E. spinosum, dan E. edule. Untuk budidaya ikan laut, teknologi yang dapat diterapkan adalah pemeliharaan dalam karamba jaring apung (KJA) atau dalam karamba jaring tancap (KJT). Jenis ikan yang dikultur pada budidaya laut ini adalah jenis-jenis ikan karang seperti ikan napoleon, berbagai jenis ikan kerapu, kakap, bawal bintang. Lokasi budidaya laut idealnya terletak dalam teluk atau tempat yang terlindung dan jauh dari alur pelayaran. Lokasi yang memenuhi syarat adalah disekitar pulau-pulau kecil seperti di perairan sekitar Pulau Lemukutan, P. Penata (Kabupaten Bengkayang), perairan di Teluk Padang Tikar (Kabupaten Kubu Raya), dan perairan di sekitar P. Pelapis dan P. Karimata (Kabupaten Kayong Utara). Pemanfaatan laut untuk akuakultur dapat juga dilakukan di laut dangkal yang masih berada pada zona budidaya di pesisir pulau besar (mainland) namun jauh dari sungai besar sehingga tidak terkena pengaruh air tawar (Djokosetyanto, 2017). Potensi laut dangkal untuk budidaya justru lebih besar, karena di beberapa wilayah laut teritorial Indonesia, termasuk Kalimantan Barat umumnya merupakan laut dangkal (Ahmat, 2001).
Tabel 4. Potensi Lahan Akuakultur dan Tingkat Pemanfaatannya di Kalbar
No | Sistem Akuakultur | Potensi Lahan (ha) | Dimanfaat-kan (ha) | Peluang Pengembangan |
Hektar | % |
1. 2. 3. 4. 5. | Minapadi Kolam Perairan Umum Tambak Laut | 20.446 34.864 20.048 74.300 130.468 | - 18.839 53 19.147 1,17 | 20.446 16.025 19.995 55.153 130.467 | 100,00 45,96 99,74 74,23 99,98 |
Sumber : Diolah dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011), Badan Pusat Statistik Kalbar (2015), Badan Pusat Statistik (2016).
Akuakultur Air Payau
Kegiatan akuakultur air payau (tambak) dengan komoditas utama udang, ikan bandeng dan rumput laut penghasil agar-agar (agarophyt) khususnya Gracilaria sangat prosfektif dikembangkan di Kalbar. Hal ini dapat dilihat dari tingginya potensi lahan tambak yang tersedia dan dapat dimanfaatkan (Tabel 4). Di Kalimantan Barat, lahan yang potensial untuk tambak dapat dijumpai pada sebagian besar pantai yang berada di kabupaten pesisir.
Teknologi akuakultur yang diterapkan bergantung kepada komoditas dan tujuan akuakultur. Pada budidaya rumput laut, pembudidaya sering menggunakan tambak ekstensif (tradisional). Umumnya, rumput laut dikultur secara terpadu dengan komoditas lain, misalnya dengan bandeng atau udang, atau dipadukan ketiga komoditas tersebut (rumput laut-bandeng-udang), namun dapat juga sistem monokultur. Usaha tambak tradisional juga sering dilakukan pada polikultur udang dengan ikan bandeng.
Intensitas akuakultur di tambak memungkinkan untuk ditingkatkan pada level semi intensif, bahkan intensif. Semakin tinggi intensitas akuakultur yang diterapkan, resiko kerusakan lingkungan juga semakin besar. Pada budidaya ikan/udang di tambak tidak jarang para petambak mengabaikan daya dukung lingkungan dan kelestarian sumberdaya alam ekosistem mangrove. Hal ini tidak hanya akan menurunkan produktivitas tambak saja, tetapi juga berakibat pada menurunnya produksi ikan dari hasil tangkapan di laut. Permasalahan ini sekarang dapat direduksi dengan mengimplementasikan sistem akuakultur dalam tambak yang ramah lingkungan, baik budidaya udang ekstensif (tradisional) maupun semi intensif. Sistem akuakultur yang dapat diterapakan diantaranya adalah sistem mina-wana (silvofishery).
Budidaya silvofishery merupakan kegiatan budidaya ikan yang dipaduserasikan dengan upaya pelestarian ekosistem mangrove/jalur hijau. Upaya perpaduan kedua kegiatan tersebut dilakukan melalui pengaturan tata letak wadah budidaya sedemikian rupa, sehingga kegiatan budidaya dapat dilakukan secara optimal, dan kelestarian ekosistem mangrove tetap dapat terjaga. Dengan demikian berkembangnya budidaya silvofishery mangrove/jalur hijau, akan mengembangkan budidaya udang dalam tambak yang ramah lingkungan yang pada gilirannya dapat membantu menjaga keseimbangan lingkungan dan mengendalikan kerusakan pantai (Purnamawati dan Dewantoro, 2007).
Pada tambak ekstensif dan semi intensif keberadaan mangrov dipertahankan di dalam petakan atau bersebelahan dengan petakan tambak, namun pada teknologi tambak intensif konsep tambak berwawasan lingkungan tersebut mengalami penyesuaian. Mangrov tidak lagi dibiarkan di dalam lingkungan tambak, namun ditanam di luar lingkungan tambak. Mangrov juga ditanam di reservoar (penampungan air) dan saluran pembuangan, sehingga air yang digunakan untuk tambak dan buangan tambak dapat di remediasi.
Akuakultur di Perairan Umum
Selain potensi akuakultur di laut dan air payau, potensi akuakultur yang masih berpeluang besar untuk dimanfaatkan adalah perairan umum. Perairan umum merupakan badan air yang terbentuk secara alami atau buatan dan tidak dimiliki atau dikuasai oleh perorangan (bersifat open acces). Kalimantan Barat memiliki perairan umum yang cukup luas yaitu lebih dari 2,044 juta ha atau 15,7 % dari luas perairan umum Indonesia, baik berupa sungai, danau dan rawa, yang tersebar di seluruh kabupaten. Hal ini menunjukan bahwa hampir di setiap pedesaan di Kalimantan Barat terdapat sumberdaya perairan yang dapat dimanfaatkan untuk akuakultur.
Teknologi akuakultur yang sesuai untuk memanfaatkan perairan umum adalah karamba jaring apung (KJA), karamba jaring tancap (KJT) dan karamba apung. Pemeliharaan ikan dalam karamba perairan umum merupakan budidaya ikan intensif, karena dilakukan dengan padat tebar tinggi dan semua pakan dipasok dari luar. Jadi budidaya ikan dalam karamba mirip dengan kolam air deras. Namun dari aspek biologi, budidaya ikan dalam karamba memiliki potensi produksi yang lebih besar dibandingkan dengan budidaya ikan dalam kolam air deras. Hal ini disebabkan sisa pakan dan metabolisme yang merupakan faktor pembatas pada kolam air deras, tidak dijumpai pada pemeliharaan ikan dalam karamba. Selain itu, arus air yang deras menyebabkan ikan mengeluarkan energi yang lebih besar untuk gerak melebihi voluntary energy yang dikeluarkan oleh ikan yang dipelihara dalam karamba.
Keberhasilan usaha budidaya ikan dalam karamba ditentukan oleh beberapa faktor, baik yang datang dari manusia maupun yang berasal dari lingkungan perairan. Supaya usaha budidaya ikan dalam karamba dapat berkembang dengan baik, maka perlu dipantau faktor-faktor yang mempengaruhi usaha tersebut, yang meliputi faktor teknis dan sosial-ekonomi (Beveridge, 1987). Supaya karamba yang dipasang tidak mudah rusak maka kondisi perairan harus sesuai dengan ketentuan berikut : 1) perairan cukup dalam dan tebing disekitarnya tidak mudah runtuh; 2) memiliki arus tetapi tidak begitu deras; 3) lokasi penempatan karamba bukan merupakan lokasi yang sering dilanda banjir besar dan lama, dan 4) terlindung dari gempuran ombak.
Perairan umum di Kalimantan Barat sangat memungkinkan untuk pengembangan budidaya ikan dalam karamba. Hal ini didukung oleh jumlah dan luasnya danau dan sungai, baik sungai-sungai besar maupun sungai yang kecil (anak sungai) yang secara teknis cukup memenuhi syarat sebagai lokasi budidaya ikan. Kondisi kualitas air diperairan umum Kalimantan Barat juga cukup baik walaupun tidak semuanya optimal (Tabel 5.). Kecerahan, suhu, oksigen terlarut dan alkalinitas merupakan parameter kualitas air yang berada pada kisaran optimal untuk pertumbuhan ikan. Sedangkan parameter lainnya masih dalam batas toleransi bagi kehidupan ikan (Wedemeyer, 1996; Boyd, 1998).
Tabel 5. Kondisi Kualitas Air Beberapa Perairan Umum Kalimantan Barat
Peubah Kualitas Air | Kisaran kualitas air |
S. Mempawah1) (Mempawah) | S. Kapuas 2) (Sanggau) | S. Melawi 2) (Melawi) | D. Mawan 2) (Kapuas Hulu) |
Warna air Kecerahan Suhu air pH DO CO2 Alkalinitas Amonia | (cm) (o C) (unit) (mg/L) (mg/L) (mg/L) (mg/L) | coklat 40–50 26,0–28,2 5,0–6,0 5,5–6,0 – – < 0,1 | coklat 48–51 27,7–28,2 4,8–5,9 5,11–5,26 58,0–66,5 27–54 < 0,02 | coklat muda 18–22 29,8–29,9 4,6–4,7 6,36–6,81 62,5–85,0 45–75 < 0,3–0,5 | Kehitaman 70 30,3–30,7 4,8 9,36–9,61 57,0–58,5 60–69 < 0,02 |
Sumber : 1) Dewantoro et al. (1998), 2) Dewantoro et al. (2011).
Sebagai sistem akuakultur intensif, pakan merupakan salah satu komponen produksi yang penting bagi usaha karamba yang menentukan pertumbuhan dan produksi ikan. Untuk merangsang pertumbuhan optimal diperlukan jumlah dan mutu makanan yang tersedia dalam keadaan cukup serta sesuai dengan kondisi perairan. Kecepatan pertumbuhan sangat bergantung kepada makanan yang tersedia (baik alami maupun buatan), kualitas air dan interaksi antara sesama ikan. Ikan yang dipelihara memerlukan makanan tambahan/buatan, hal ini disebabakan adanya pembatas ruang gerak ikan sehingga kalau makanan alami yang ada ditempat hidupnya sangat sedikit ikan tersebut tidak dapat melakukan migrasi ke daerah yang banyak makanannya. Di samping itu, pemberian makanan tambahan juga untuk mempercepat pertumbuhan ikan sehingga hasil yang diharapkan dapat terwujud dalam waktu yang relatif singkat.
Pakan yang diberikan pada pemeliharaan ikan dalam karamba disamping mengandung nutrisi lengkap dan berimbang, jumlah yang diberikan juga harus memenuhi kebutuhan. Pemberian pakan idealnya 2–3 kali sehari dengan dosis pemberian 2–5% bobot biomas/hari, dan ikan ukuran kecil harus diberi pakan dengan persentase lebih tinggi dari ikan besar/dewasa. Untuk tujuan praktis, pakan dapat juga diberikan sekenyangnya (ad satiasi). Namun pemberian pakan dengan metode persentase biomas sebenarnya lebih efisien secara ekonomi bila dibandingkan pemberian pakan secara ad satiasi (Schmittou, 1991).
Pada pemeliharaan ikan dalam karamba, biomas ikan yang ditebar tentu sangat tinggi agar dicapai produksi yang tinggi. Tingginya biomas yang dapat ditebar pada pemeliharaan ikan dalam karamba, berkaitan dengan ketersediaan oksigen di perairan. Jadi meskipun ruang gerak ikan terbatas, faktor pembetas (limiting factor) produksi ikan bukanlah ketersediaan pakan, karena pakan telah dipenuhi sesuai kebutuhan. Ketersediaan oksigen juga bukan lagi menjadi faktor pembatas, karena volume air yang besar menyediakan cukup banyak oksigen yang diperlukan oleh ikan. Justru yang menjadi faktor pembatas adalah akumulasi sisa buangan (sisa pakan dan metabolisme) yang suatu saat dapat menjadi racun yang terangkat oleh air ke permukaan saat terjadi pembalikan massa air (over turn) di musim hujan. Fenomena ini dapat terjadi pada perairan tertutup atau semi tertutup (danau dan waduk) dan bila jumlah karamba telah melebihi daya dukung (carying capasity) perairan.
AKUAKULTUR PADA LAHAN TERBATAS
Permasalahan utama akuakultur secara nasional adalah semakin terbatasnya lahan, degradasi habitat, dan penurunan kualitas lingkungan. Hal ini terutama terjadi di daerah perkotaan atau daerah yang padat penduduknya. Kondisi seperti ini sudah mulai dirasakan dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi di Kalbar. Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu diupayakan usaha akuakultur intensif pada lingkungan terkontrol.
Dalam mengelola usaha akuakultur, tingkat produksi yang tinggi dengan waktu pemeliharaan yang singkat merupakan salah satu sasaran yang harus dicapai. Tingginya produksi sangat ditentukan oleh tingkat kelangsungan hidup dan ukuran ikan saat panen. Ukuran yang dapat dicapai untuk jangka waktu pemeliharaan tertentu bergantung kepada kecepatan pertumbuhan ikan. Bila laju pertumbuhan dapat ditingkatkan, maka masa pemeliharaan ikan dari benih sampai ukuran konsumsi dapat dipersingkat. Sehingga produksi ikan budidaya tentu semakin tinggi. Pertumbuhan ditentukan oleh berbagai aspek baik faktor internal seperti genetik, jenis kelamin, dan umur ikan, dan faktor eksternal atau pengaruh dari luar tubuh ikan. Faktor eksternal yang memegang peranan penting bagi pertumbuhan ikan adalah pakan, oksigen terlarut dan sisa buangan (Surawidjaja, 2006).
Pakan merupakan faktor pembatas utama pertumbuhan ikan. Ketersediaan pakan dengan nilai gizi yang memadai sangat menentukan pertumbuhan dan produksi ikan yang dapat dicapai. Pakan yang diperlukan tersebut meliputi kelompok nutrisi utama (makro) seperti protein, karbohidrat dan lemak, dan nutrisi mikro, seperti vitamin dan mineral. Nutrisi makro diperlukan sebagai sumber energi dan materi untuk pertumbuhan dan merupakan komponen pakan yang dibutuhkan dalam jumlah besar oleh ikan (Abowei dan Ekubo, 2011). Salah satu komponen nutrisi makro yang utama adalah protein.
Protein termasuk bio-makromolekul yang sangat dibutuhkan ikan. Peran protein dalam pakan adalah sebagai sumber energi dan materi untuk pertumbuhan. Ikan membutuhkan kandungan protein yang tinggi dalam pakan, meskipun bervariasi bergantung kebiasaan makan (food habit) dan jenis ikan (Cornelio et al., 2014). Di sisi lain, protein merupakan nutrisi yang mahal. Oleh sebab itu protein pakan harus dimanfaatkan semaksimal mungkin hanya untuk pertumbuhan ikan. Untuk memaksimalkan pemanfaatan protein pakan bagi pertumbuhan, pakan ikan harus mengandung energi yang berasal dari bahan non protein. Dengan demikian pakan yang diberikan pada ikan harus mengandung protein yang cukup dengan rasio energi/protein yang berimbang (Pirozzi et al., 2010; Kittel dan Small, 2014).
Pada penderan ikan tengadak, peningkatan kadar protein sampai 35% dapat memperbaiki performa pertumbuhan, namun bila kadar protein pakan lebih ditingkatkan tidak meningkatkan pertumbuhan yang signifikan. Rasio energi/protein 10 kkal/g protein memberikan pengaruh yang lebih baik bila dibandingkan rasio energi/protein yang lebih rendah (8 kkal/g proten). Performa pertumbuhan benih ikan tengadak terbaik bila diberi pakan yang berkadar protein 35% dan rasio energi/protein 10 kkal/g proein (Dewantoro et al., 2018).
Meskipun kebutuhan pakan khususnya protein dan energi telah terpenuhi, ikan belum dapat tumbuh optimal bila ketersediaan oksigen di perairan tidak mencukupi. Hal ini disebabkan, oksigen memiliki peran yang sangat penting untuk dapat berlangsungnya proses metabolisme ikan yang pada gilirannya akan mempengaruhi performa pertumbuhan (Tran-Duy et al., 2012; Lakani et al., 2013). Kelarutan oksigen dalam media akuakultur dapat ditingkatkan melalui aerasi. Tipe aerasi yang dapat diterapkan pada pemeliharaan terkontrol (akuarium, bak atau kolam) adalah dengan pompa udara (blower) dan penggantian (aliran) air (Das et al., 2012; Fui et al., 2012). Pemberian aerasi pada media pemeliharaan benih ikan tengadak ternyata meningkatkan oksigen terlarut (DO) hingga titik jenuh. Aerasi 10 L /menit/40 L air menghasilkan oksigen terlarut 7,60 mg/L (kejenuhan 101,45%) serta berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan menurunkan nilai konversi pakan (FCR).
Setelah pakan dan kebutuhan oksigen terpenuhi, ternyata sisa pakan dan metabolisme ikan selalu menjadi penghambat dan merupakan permasalahan yang rumit diatasi. Selama bertahun-tahun para pembudidaya berusaha mengatasi sisa metabolisme tersebut dengan metode konvensional, yaitu dengan membuang lumpur dasar tambak dan kolam. Namun hal ini tidak menyelesaikan permasalahan sepenuhnya, terutama bila budidaya dilakukan pada skala yang besar. Seiring dengan berkembangnya hasil-hasil riset ditemukan fitoplankton yang berfungsi sebagai bioremediasi. Temuan ini mulai membantu pembudidaya untuk mengefisienkan waktu, biaya dan tenaga, sehingga frekuensi pengangkan lumpur dapat dikurangi. Saat ini dengan ditemukan metode terbaru yang menggunakan bakteri heterotrof (biofloc technology), mampu merubah sisa metabolisme menjadi pakan sehingga dapat mempercepat pertumbuhan ikan dan menekan FCR hingga dibawah 1,0. Teknologi biofloc sudah mulai diterapkan, namun masih terbatas pada budidaya ikan-ikan pemakan detritus (trophic level rendah) (Avnimelech, 2012). Untuk mengatasi permasalahan limbah metabolisme pada usaha akuakultur ikan-ikan omnivor yang cenderung karnivor dan ikan-ikan karnivor, perlu modifikasi teknologi bioflok yang ada saat ini.
PENUTUP
Potensi akuakultur Kalimantan Barat cukup besar dan belum dimanfaatkan secara optimal, terutama laut, tambak dan perairan umum. yang besar saja tidak akan merubah kondisi perikanan saat ini, tanpa upaya keras dan maksimal untuk mengelola potensi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abowei, J.F.N. and Ekubo, E.T. 2011. Some principles and requirements in fish nutrition. British Journal of Pharmacology and Toxicology 2(4):163–178.
Ahmat, T. 2001. Analisis pengemambangan sea farming di Indonesia. Warta Penelitian Perikanan Indonesia 7(1):9–14.
Avnimelech, Y. 2012. Biofloc Technology-A Practical Guide Book, 2nd Edition. The World Aquaculture Society. Louisiana, US.
Badan Pusat Statistik. 2016. Statistik sumberdaya Laut dan Pesisir. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Kalimantan Barat. 2015. Kalimantan Barat dalam Angka, 2015. BPS Kalimantan Barat. Pontianak.
Beveridge, M.C.M. 1987. Cage Aquaculture. Fishing News Books. England.
Boyd, C.E. 1998. Water quality for pond aquaculture. Research and Development series No. 43. International Center for Aquaculture and Aquatic Environment, Auburn Univrsity. Auburn, Alabama. 37 pp.
Cornelio, F.H.G., da Cunha, D.A., Silveira, J., Alexandre, D. , Silva, C.P. and Fracalossi, DM. 2014. Dietary protein requirement of juvenile cachara catfish, Pseudoplatystoma reticulatum. Journal of the World Aquaculture Society 45(1):45–54.
Das, T., Pal, A.K., Chakraborty, S.K., Manush, S.M., Sahu, N.P. and Mukherjee, S.C. 2005. Thermal tolerance, growth and oxygen consumption of Labeo rohita fry (Hamilton, 1822) acclimated to four temperatures. Journal of Thermal Biology 30: 378–383.
Djokosetyanto, D. 2017. Potensi sumberdaya lingkungan untuk pengembangan akuakultur di perairan laut dangkal. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB. Intitut Pertanian Bogor. Bogor.
Dewantoro, E., Dhahiyat, Y., Rostika, R., Zahidah and Iskandar. 2018. Growth performance of tinfoil barb (Barbonymus schwanenfeldii) fed with different protein levels and energy/protein ratios on diet. AACL Bioflux, 11(4):1300–1310.
Dewantoro, E., Rachimi & Purnamawati. 2011. Aspek biologi reproduksi ikan lampam di perairan umum Kalimantan Barat. Agria, 7(1):113–127.
Dewantoro, E., Yanto, H. dan S. S. Wibowo. 1998. Teknologi budidaya ikan nila merah dalam keramba apung volume rendah kepadatan tinggi. Prosiding Seminar Regional Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Kalimantan Barat. Badan Penelitian dan Pengambangan Pertanian. halaman 153–169.
Fui, C.F., Miura, A., Nakagawa, Y., Kato, K., Senoo, S., Sakamoto, W., Takii, K. and Miyashita, S. 2012. Flow field control via aeration adjustment for the enhancement of larval survival of the kelp grouper Epinephelus bruneus (Perciformes:Serranidae). Aquaculture Research: 1–8.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam Angka. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
Kittel, E.C. and Small, B.C. 2014. Effect of altering dietary protein: energy ratios on juvenile pallid sturgeon growth performance. North American Journal of Aquaculture 76:28–35.
Lakani, B.F., Sattari, M. and Falahatkar, B. 2013. Effect of different oxygen levels on growth performance, stress response and oxygen consumption in two weight groups of great sturgeon Huso huso. Iranian Journal of Fisheries Sciences 12(3):533–549.
Pirozzi, I., Booth, M.A. and Allan, G.L. 2010. The interactive effects of dietary protein and energy on feed intake, growth and protein utilization of juvenile mulloway (Argyrosomus japonicus). Aquaculture Nutrition 16:61–71.
Purnamawati dan Dewantoro, E. 2007. Pemilihan dan pembangunan tambak udang berwawasan lingkungan. Media Akuakultur 2(2):107–112.
Schmittou, H.R. 1991. Cage Culture : A Metode of Fish Produktion in Indonesia. FRDP. CRIFI. Jakarta.
Tran-Duy, A., van Dam, A.A. and Schrama, J.W. 2012. Feed intake, growth and metabolism of Nile tilapia (Oreochromis niloticus) in relation to dissolved oxygen concentration. Aquaculture Research 43:730–744.
Wedemeyer, G.A. 1996. Physiology of Fish in Intensive Culture System. Chapman and Hall. New York–Toronto.